Halaman

    Social Items

Ketika Bung Karno sering lawatan ke luar kota, untuk menyambutnya banyak anak kecil yang berbaris ditepi jalan sambil membawa bendera merah putih kecil yang dilambai-lambaikan. Tiba-tiba ada nenek tua di pinggir jalan terlihat sedang ngomong dengan seorang anak. "Nak, itu merdekanya jatuh". (Gus Dur)

Bulan Agustus sebentar lagi selesai. Tetapi kemeriahannya masih terasa di pojok-pojok kampung, perlombaan di perempatan juga belum menentukan juaranya. Puncak peringatan malam hari masih sering terdengar. Seluruh masyarakat tergerak dalam semangat yang sama. Kemerdekaan!

Dalam rangka memperingati kemerdekaan, seluruh elemen masyarakat bergerak. Bermacam acara diadakan. Dari mengecat tiang bendera yang sudah lumutan, Kerja bakti membersihkan jalan, sampai menjadi event organizer dadakan. Pesertanya dari anak-anak sampai bapak-bapak, dari remaja putri sampe mak-nya si putri. Semua bergerak.

Tapi bukan agustusan kalau tidak ada lomba-lomba. Setiap kampung punya jadwal tersendiri. Didalam satu desa, bisa terdapat beberapa titik lomba dengan bermacam menu lomba yang siap disajikan. Pentung air bisa menjadi primadona di satu dusun, tapi bisa juga tidak ada di dusun lain. Tidak ada kesepakatan pasti tentang waktu dan jenis lomba. Walaupun begitu, biasanya lomba-lombanya juga tidak terlalu beda. Masih disekitar balap karung, pentung air, makan kerupuk, dan panjat pinang. Meskipun yang terakhir sudah mulai jarang. Ada filosofi jelek yang terkandung didalamnya. Untuk mendapatkan hadiah, maka temen-temen lain diinjak-injak. Filosofi kapitalisme yang licik. Tapi ada satu yang sama di semua ritual itu. Yaitu tertawa...

Ya, tertawa. Bagi orang-orang kampung, merdeka adalah tertawa. Merdeka adalah saat dimana orang-orang itu dapat melepaskan rutinitas mereka. Dapat sedikit berhenti memikirkan kerja yang semakin berat. Dapat lepas dari tanggung jawab keluarga, walaupun sebentar. Atau dapat melepaskan kesusahan hidup, yang sehari-hari menjerat. Bahkan merdeka adalah menertawakan kenyataan yang lebih banyak tidak sesuai dengan yang diharapakan. Merdeka adalah tertawa, adalah menertawakan segala seuatu, termasuk diri sendiri.

Orang-orang kampung tidak begitu peduli dengan arti kata merdeka. Bagi mereka sama saja. Sejak Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, toh hidup masih sama saja. Merdeka tidak membuat pengangguran berkurang jumlahnya. Merdeka tidak membuat harga bahan-bahan pokok murah. Dan merdeka tidak membuat karyawan yang di PHK kembali bekerja. Atau tidak membuat harga BBM berhenti naik. Merdeka toh masih sama saja. Ketika merdeka sudah tidak punya arti, atau melenceng dari yang diharapkan maka yang dapat dilakukan hanyalah tertawa.

Dengan tertawa maka kita dapat menyelami misteri hidup. Demikian kata Romo Sindhu dalam tulisannya. Tapi tertawa bagi orang-orang kampung juga tidak dimaknai begitu berat. Tertawa adalah penghiburan. Tidak saja bagi orang lain, tapi bagi diri sendiri. Ketika kenyataan mengkhianati harapan manusia. Saat segala sesuatu ternyata berbeda dengan yang dicita-citakan. Maka tertawa menjadi obatnya. Tertawa membuat orang-orang berpikir bahwa hidup ternyata sama saja. Didalam kesusahan pun ternyata kita masih bisa tertawa. Didalam keseriusan pun ternyata terselip kelucuan. Pembatasan-pembatasan tersebut akhirnya luntur, hanya menjadi tertawaan orang-orang kampung.

Menertawakan kemerdekaan berarti juga menertawakan diri sendiri. Seperti masyarakat di Pandansari sebuah desa di bagian barat Banyumas. Kesusahan justru menjadi bahan tertawaan. Karena dekatnya dengan kesusahan, maka mereka justru dapat menertawakannya. Dalam Lomba Ngresulah atau lomba ngedumel (meratapi kesusahan), setiap peserta yang tampil dengan segala permasalahan hidupnya justru malah ditertawakan. Seperti ratapan Bawal, anak muda pengangguran yang ingin kawin tapi tidak punya pacar karena tidak punya pekerjaan. Bukannya penonton sedih, tapi malah tertawa keras-keras. Masyarakat seolah terbiasa dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan. Merdeka adalah kenyataan menerima kesusahan. Kesususahan diri mereka sendiri.

Karena itulah bulan Agustus dimaknai begitu berarti. Bulan Agustus adalah bulan dimana kita dapat menertawakan hidup, dapat menertawakan kemerdekaan, dapat menertawakan diri sendiri. Mungkin dengan tertawa maka pemahaman kita akan menjadi bertambah. Bertambah kaya, bertambah bijaksana, dan yang pasti bertambah semangat. Karena semua adalah tertawaan, hingga kita dapat mencapai puncaknya. Menertawakan tertawa. Sehingga didalam kesusahan pun tersimpan tertawaan. Dan ternyata kesusahan atau kesenangan adalah sama saja. Hidup tertawa.. hahaha......

Menertawakan Kemerdekaan