Halaman

    Social Items

Rabu, 14 Januari 2009, pagi hari

Pagi itu atmosphere kampus sangat tenang. Biasa, musim-musim ujian. Semua berkonsentrasi penuh, dari mulai membaca fotokopian, sibuk berdoa, sampai ngapalin materi sambil bengong didepan kelas(nunggu dapat wangsit kali, hehe..). Atau kalau modalnya pas-pasan, yang dilakukan adalah duduk didepan pintu gerbang, menunggu pinjeman fotokopian datang. Biar dikata cowok gak modal, yang penting ujian lancar.

"Open book, hah? masa sih? Yang bener??", tiba-tiba suara gelisah dengan logat banyumas yang kental mengganggu ketenangan pagi itu. Dari lima orang yang duduk di bangku panjang depan ruang satu, Latip tiba-tiba berteriak dengan muka panik. Demi mendengar bahwa ujian STATER yang terkenal sulit, ternyata open book. Kata-kata bernada gelisah, keluar tak beraturan sambil berjalan bolak-balik layaknya setrika berkekuatan super. Masalahnya sebenarnya bukan open booknya, tetapi materi untuk di opennya yang tidak ada. Setelah berdiskusi singkat, akhirnya Latip melesat ke fotokopian untuk membajak materi.

..... tengah hari

"Gmn tip? tadi bisa ngerjainnya?", hufron bertanya sambil cengengesan gak jelas.
"Asem, sudah motokopi malah waktunya habis untuk mbolak-balik fotokopian nyari jawaban. percuma saja motokopi", dengan muka ditekuk lima belas, latip menjawab asal-asalan.
"Pokoknya ujian rampung kita pergi ke Cikakak, Harus".
"Kenapa harus ke Cikakak?, aku menyela pembicaraan.
"Ketemu saudara tua."

Kamis 15 Januari 2009, lagi ngumpul2 di kampus

"Kita ke Cikakaknya hari jumat saja ya? Hari Sabtu cewekku balik. Ketemuan dong!", ucap hufron sambil menghisap rokoknya.
Aku hanya mengiyakan singkat sambil bersungut-sungut.
"Tapi kumpul di tempatku Fron".

Jumat 16 januari 2009, Pagi Hari

Dengan keterampilan bak cleaning service profesional, aku selaku tuan rumah membersihkan area transit. dari mulai kolam ikan di depan rumah, sampai kolong meja di ruang tamu, semua dibersihkan tak ketinggalan barang secentipun. Makanan pun sudah disiapkan.

Latip mengkontak anak-anak, konfirmasi acara. Jadi apa nggak, soalnya dia baru bangun. Semua anak di call, dari mulai aku, hufron, Novi, sampai Vita. Bahkan Andy juga ikutan ditelpon, tapi yang terakhir ini menjawab sambil berbisik lirih, "Sorry bro, aku lagi mencret!!!".

Waktu sudah lebih dari jadwal yang disepakati, jam 8. Novi sudah di Ajibarang, tapi lagi ngubek-ubek Kracak, nyari rumahnya Vita. Latip sudah tancap gas dari rumahnya. Setelah semua ngumpul, tinggal nunggu Hufron belum datang. Latip langsung mengeluarkan HP bututnya, panggilan dialamatkan ke tujuan. Informasi terbaru, Hufron lagi nganter Bapaknya ke Rumah Sakit, check up. Jadinya kita nunggu, sampai siang sebelum Jumatan.

.......... siang hari, sebelum jumatan

Setelah membayar tiket seribu rupiah kali lima, kami bergegas masuk ke wilayah Masjid Saka Tunggal. Motor kami parkirkan di sekitar Masjid yang memang dikhususkan untuk parkiran. Setelah melihat-lihat sekenanya, kami duduk di gazebo yang disediakan untuk pengunjung.

Komplek Masjid Saka Tunggal memang sepi, disekitar masjid hanya berdiri beberapa rumah yang jaraknya berjauhan. Wilayah yang menjadi situs budaya sekaligus tujuan wisata ini, biasanya akan ramai jika liburan tiba, banyak anak-anak sekolah yang menghabiskan waktu disitu. Atau jika ada acara budaya khusus di sekitar komplek makam pendiri Masjid, masyarakat secara otomatis akan berdatangan ikut memeriahkan. Dan biasanya kalau terdengar ada pengunjung yang datang, monyet-monyet di bukit Jojog Telu akan turun mendekati pengunjung. Tapi hari itu sepi, kera-kera tidak kelihatan satu ekor-pun. Jadi kita hanya duduk-duduk sambil makan kacang yang tadinya kita beli untuk si monyet.

Sambil ngobrol ngalor ngidul kami duduk-duduk santai. Dan ternyata kami menjumpai fakta mengerikan, bahwa ternyata kita lebih rakus daripada monyet. Bayangkan saja, kacang yang sengaja kita alokasikan untuk dikasih monyet kita sikat habis, tinggal beberapa bungkus saja. Tapi seperti kata Latip, ah biarin saja.

......... siang hari

Hari itu adalah hari Jumat. Demi mempertahankan image remaja yang alim dan beragama maka kami melesat ke Masjid Saka Tunggal. Setelah mengambil air wudlu, kami masuk ke dalam masjid. Tampak sebuah saka kokoh di tengah masjid. Menurut informasi yang kami dapat, saka itu terbuat dari jati dan sudah berumur lebih dari 700 tahun. Nama masjid itu sebenarnya adalah Masjid Baitussalam, tetapi terkenal dengan nama masjid saka tunggal. ya karena saka di tengah itu. Oleh karena itu kami sangat menganjurkan membuat rumah dengan saka ditengah. Mungkin tujuh ratus tahun mendatang bisa terkenal, dengan sebutan rumah saka tunggal . minimal terkenal gilanya lah hehe...

Jamaah jumat mulai berdatangan. Sholawatan mulai dilantunkan. Syahdu sekali dengan logat-logat jawa kental. Ditambah tanpa pengeras suara, menambah nikmat sholat jumat di masjid saka tunggal. Latip yang duduk disampingku hanya cengar-cengir bingung. maklum baru kali ini dia mendengar sholawatan versi jawa. Dulu waktu mondok di Lirboyo mungkin nggak ada sholawatan logat jawa. Berarti ini merupakan pengalaman pertama. Dan biasanya, pengalaman pertama sangat menggoda. Selanjutnya, ah biasa.

Selesai sholat jumat kami duduk-duduk lagi. Tetapi Latip tambah gelisah. Harap dimengerti, cita-citanya adalah ketemu saudara tua di sini. Tapi yang dicari malah ngumpet di hutan belakang masjid. Dengan kemampuan melobi yang luar biasa, Latip akhirnya berhasil membawa seorang penduduk untuk memanggil monyet-monyet itu. Sebentar kemudian, ratusan monyet-monyet itu berteriak-teriak sambil lompat-lompat jumpalitan nggak jelas. Merubungi kami di parkiran. Persis kayak Sun Go Kong dalam film kera sakti.

Beberapa bungkus kacang yang masih tersisa akhirnya kami lemparkan. Rebutan seru terjadi dalam rombongan kera itu. Yang besar mengalahkan yang kecil. Yang kecil biasanya menunggu sisa-sisa yang luput dari pengawasan monyet besar. Hukum rimba terjadi, siapa yang kuat dia makan lebih. Akhirnya Latip membeli beberapa bungkus kacang lagi. Seperti yang selalu dikatakannya. kasihan, nggak tega!!! Tapi dasar monyet yang tidak mengenal etika. Kadang-kadang kacang masih ditangan langsung saja disambar. Hufron yang lagi ngasih makan, langsung lari kocar-kacir gara-gara disambangi pimpinan monyet. Vita yang berdiri di sampingnya, hanya diam sambil merem-melek plus berteriak-teriak di tempat, alias kamitenggengen. Sementara itu Novi sudah siap dengan persenjataan lengkapnya, tas multifungsi. Bisa digunakan untuk mengusir monyet. Tak lupa tameng organik, yaitu tubuh kurusnya Latif yang bisa dikorbankan setiap saat.

Sebenarnya monyet-monyet itu sudah terbiasa berinteraksi dengan manusia. Dalam data pemerintah desa, belum pernah ada kasus penyerangan oleh kera kepada manusia. Tetapi bagi yang tidak biasa, bahasa monyet ternyata mengerikan juga. Teriakan-teriakan dan gerak-gerik kera lumayan membuat deg-deg serr. Jadi klaim tak kenal maka tak sayang ternyata terbukti. Setelah puas tertawa-tawa plus takut juga, kami memutuskan untuk pulang. Monyet-monyet yang tadi turun pun tinggal satu-dua. Dan Novi masih suka berteriak-teriak kalau ada beberapa sisa monyet mendekati gazebo kami.

Bunyi burung sore mulai menyemarakan kompleks Masjid Saka Tunggal. Monyet-monyet itu sudah kembali ke hutan dibelakang Masjid. Taman kera kembali sepi, tapi Masjid Saka Tunggal tetap ramai dengan suara sholawat yang terus bergema sampai ke atas bukit. Kami memutuskan untuk pulang.

Sehari di Cikakak, Menengok Taman Kera