Halaman

    Social Items

Dibawah pohon duku kembar bocah itu lahir. Membawa nasibnya sendiri, mencoba menyapu dunia. Dikelilingi duku kembar yang entah kapan jumeneng dalam kehidupan.

Dalam kesederhanaan, bocah itu bermain dibawah duku kembar. Melingkar-lingkarkan tangannya memeluk batang duku kembar, tapi tidak pernah sampai. Duku kembar itu ibarat ibunya yang selalu memeluk dengan hangat setiap pagi.

Tanah dibawah duku kembar sangat halus, lebih halus dari keramik dasar lautan. Daun-daun duku kembar berhamburan menutupi lantai tanah, tempat bocah dengan sapu ditangan bermain. Bocah itu membawa sapu hendak meratakan tanah dibawah duku kembar. Gemuruh semangat menerbangkan daun-daun duku kembar.

Dibawah duku kembar suasana sangat teduh. Kadang-kadang terdengar tawa, kadang terdengar tangis. Bocah-bocah terlihat berlari-larian. Banyak sekali permainan dibawah duku kembar. Bocah itu membuat kotak persegi berurutan. lalu mencari potongan genteng untuk gaco. Dilemparkannya gaco itu ke tengah kotak persegi. Bergantian, lama sekali.

Sementara itu di pedangan, ibu bocah itu memanak nasi dengan ketela. Setelah lelah bermain bocah itu makan dengan lahapnya. Tidak ada lauk, yang ada hanya bakaran terasi dan garam yang ditaburkan ke atas nasi.

Habis duhur, bala bocah itu sudah menanti. Sambil membawa kayu panjang, bocah itu berlarian ke tengah alas. Matanya awas mengamati ketinggian. Mencari nining-nining gendong terbang. kuning, merah, hijau, satu persatu dikumpulkannya nining-nining itu. Mukanya penuh dengan ramat binatang itu. Tertawa-tawa sambil berlari pulang.

Sambil melepas letih, bocah itu duduk di bawah duku kembar. Akar duku kembar yang menjulur tak beraturan memijit tubuhnya, menghilangkan penat setelah bermain. Kemudian mereka akan nyamplongi duku kembar itu. Bagaikan mengerti keinginan anaknya, duku kembar itu akan merontokkan buahnya. Hujan duku berjatuhan semarak menghujani bocah itu. Rebutan seru terjadi, jumpalitan saling tindih. Lalu dimakannya duku itu tanpa sisa, semua tertawa.

Cakrawala disebelah barat sana semakin berwarna merah. Matahari sudah ngumpet di balik bukit Semedo. Di rumah depan mushola itu sang bocah duduk ditemani lampu senthir kakeknya. Mendengarkan kakeknya bercerita, tentang jaman perang, tentang hidup. Biasanya bocah itu mendengarkan sambil sesekali menyela, bertanya. Di rumah itu hanya ada bangku panjang dan meja panjang.

Setelah malam larut, minyak di senthir itu mulai habis. Biasanya bocah itu digendong bapaknya ke gubuk kecilnya di bawah duku kembar. Ditidurkannya di amben oleh bapaknya. Setelah itu bapaknya akan pergi ke kali, nawu air kali mencari lele. Akan dijual buat makan anak-anaknya besok hari. Sebelum subuh bapaknya sudah kembali. Ember yang dibawanya berisi banyak lele.

Malam semakin hening, burung-burung malam bersuara parau. Kelelawar sudah kenyang menikmati makannya malam ini. Hidup masih harus berjalan bagi bocah itu. bocah dengan sapu ditangan, entah sampai kapan menyapu dan akan tersapu oleh kehidupan. Dibawah pohon itu, pohon duku kembar. Lambang kerasnya kehidupan, tetapi memberi kehangatan bagi mahluk di bawahnya.


Bocah dengan sapu ditangan.

bocah dengan sapu ditangan

Kerumunan orang itu masih berdiri didepan sebuah sekolah terkenal. Beberapa ada yang duduk, beberapa ada yang bolak-balik melihat papan pengumuman sambil gelisah. Sementara itu matahari semakin tinggi, udara mulai menghangat. Lalu lintas di depan sekolah itu juga mulai ramai.

Jumat, jam 10 kurang beberapa menit. Bocah bercelana panjang hitam berjaket warna biru itu menerobos kerumunan, langsung masuk ke sebuah lorong yang tidak terlalu lebar. Raut mukanya tidak menunjukkan ketegangan, apalagi kekahawatiran. Entah dia tahu atau tidak apa yang ditujunya.


"Dari dalam kota atau luar kota dek??".
"Dalam kota bu".

Beberapa lembar kertas disodorkan, disuruh diisi. Setelah rampung menulis, bocah itu ngeloyor pergi, ringan, tanpa kekhawatiran. Sementara itu, kerumunan didepan sekolah mulai mencair, beberapa ada yang pulang. Sambil keluar, dia melongok papan pengumuman yang dari tadi menjadi sasaran puluhan mata kerumunan itu. 42,15 belum berubah.

Sambil berjalan pulang bocah itu berpikir keras. Hatinya gelisah melihat kerumunan orang itu. Apalagi melihat angka yang tertera di papan pengumuman. 42,15 belum berubah. Dalam benaknya berputar sebuah pertanyaan sederhana, pantas saja disebut sekolahan favorit, wong mau masuk saja angkanya harus bagus. Jelas gak semua orang punya akses, lagi-lagi harus yang bermodal?

Hari itu puluhan orang menggantungkan hidup anaknya di papan pengumuman itu. Diterima didalamnya adalah sebuah kebanggan sekaligus sebuah jaminan masa depan. Maka kebiasaan berkerumun di depan sekolah itu adalah tradisi panjang. Dimana nasib anaknya tiga tahun kedepan ditentukan lewat angka kecil yang ditempel di papan itu.

Tapi tidak bagi bocah itu. Pikirannya sangat sederhana, dia hanya ingin belajar, menambah ilmu pengetahuan. Baginya belajar dimana saja adalah sama. Yang penting bisa belajar, belajar untuk berilmu, belajar untuk menjadi manusia. Maka pilihan ke sekolah itu menjadi hal yang biasa, malah sangat biasa. Pun jika tidak diterima, tidaklah menjadi masalah tersendiri. Paling banter bocah itu akan ngomong, "kalau gak diterima disitu ya masuk aja ke sekolah lain, kan masih banyak".

Setelah matahari hampir tegak, kerumunan didepan sekolah terkenal itu mulai bubar. Sambil keluar membawa map yang masih baru, lontaran-lontaran kekecewaan mengalir deras. Seorang bapak terlihat berjalan sambil terdiam, mungkin memikirkan kegagalan cita-citanya menyekolahkan anaknya disitu. Sambil berjalan, bapak itu teringat puluhan tahun yang lalu. Saat dia harus pulang dengan map ditangan, karena tidak diterima di sekolah itu. Dulu, sekolahan terkenal itu tidak disitu.

42,15 belum berubah.

suatu pagi di depan sekolah