Untuk pendamping
perjalananku,
Awalnya dari sebuah buku. Eh
bukan, bukan hanya dari sekedar buku tentu saja. Hanya saja aku meletakan sebagian besar
ingatanku di buku itu. Buku bersampul merah darah yang kuhadiahkan di hari
ulang tahunmu. Entah engkau masih ingat atau tidak, yang jelas aku masih mengingat
begitu jelas, tidak setiap detil tentu saja. Aku memang memberikannya sambil
lalu. Kalau memang bahasa perasaan sangat sulit diungkapkan, apakah tindakan
kita kemudian harus selalu dinilai menggambarkan perasaan? Tentu saja tidak,
paling tidak menurutku demikian.
Buku itu merupakan pasangan,
itu juga entah kau tahu atau tidak. Kesatuan gagasan buku itu baru lengkap jika
membaca buku yang satu lagi. Itulah salah satu alasan aku memberikanmu buku
itu. Selain karena memang kamu begitu suka penulisnya. Suatu hal yang kadang
membuatku cemburu tanpa alasan. Entahlah, atau itu sudah termasuk alasan untuk
cemburu. Yang jelas aku ingin menghadiahkanmu sesuatu yang istimewa, sesuatu
yang dapat selalu dikenang. Kalau tidak olehmu, ya olehku. Dan pikiran yang tiba-tiba muncul, menghadiahkanmu buku berpasangan, sepersekian
detik setelah aku melihat buku itu. Dan pasti bisa kamu tebak, buku yang
satunya ada di salah satu rak bukuku, tersimpan rapi menunggu buku yang satu
lagi menemani.
Awalnya dari sebuah buku.
Itu sesuatu yang ku gunakan untuk melekatkan sebagian besar ingatan, perasaan,
dan pengalamanku denganmu. Aku tidak mau sombong dengan mengatakan bahwa aku
akan membawa seluruh ingatanku sampai mati. Atau aku tidak mau berkata konyol
kalau aku mengingat setiap detil tentangmu. Aku tidak punya kekuatan seperti
itu, aku harus melekatkan sebagian besar ingatanku kepada sesuatu. Dan jika aku
melihat sesuatu itu, ingatanku akan langsung terbuka, dan begitu ingatan
terbuka, perasaaan-perasaan di sekitar ingatan itu pasti juga akan muncul. Maka
aku menghadiahkanmu sebuah buku.
Mungkin buku itu tidak
begitu istimewa bagimu. Buku bekas yang sudah berumur, dengan warna coklat
usang disetiap halamannya dan diberikan sambil lalu. Tapi perlu kau tahu, buku
itu menyimpan atau lebih tepatnya tempat aku menyimpan sebagian besar ingatan
dan pengalamanku denganmu. Sebuah fragmen yang aku tidak pernah mengira akan
kita jalani. Atau aku tidak pernah mengira akan menjalaninya.
Aku menjalani banyak cerita
selama umurku ini. Dan kau tentu saja sama, dengan cerita yang berbeda tentu
saja. Tapi seperti apa ceritanya, sedih atau bahagia, toh nilainya tetap sama.
Tidak ada pemain drama yang bisa
mengklaim ceritanya lebih sedih, atau lebih bahagia. Semua sama, bisa diambil
pelajaran darinya atau hanya sekedar hiburan. Dan akan selalu ada banyak cerita
yang mengubah arah hidup banyak penontonnya. Dan menjalani cerita denganmu
ternyata salah satu yang telah mengubah arah hidupku. Lebih baik atau lebih
buruk, belum bisa dinilai, yang jelas aku bahagia.
Awalnya dari sebuah buku.
Kemudian aku menarik seluruh pengalamanku kepada benda kecil usang berwarna
merah darah itu. Bahwa aku pernah menangis karena memikirkanmu aku simpan rapi
di salah satu halamannya. Sebuah cerita cengeng yang tidak akan aku ceritakan
kepada siapapun. Bahwa aku bisa menangis karena perempuan selain ibuku, dan aku
mengakui itu. Oiya, aku juga belum pernah mengatakannya padamu, karena aku
berpikir pantas atau tidak aku menceritakannya padamu.
Seringkali kau mengatakan
disakiti olehku, oleh ucapan-ucapanku, oleh tindakan-tindakanku padamu. Itu aku
mengakui, walaupun tidak pernah aku sengaja. Bukankah orang yang terjatuh pada
lubang ketika berjalan, tidak harus sengaja melakukannya? Aku tidak begitu
pintar menghadapi perempuan, cenderung bodoh bahkan. Sebagian besar masa
sekolahku hanya berisi ejekan teman-teman tentang perempuan, kenapa aku tidak
punya pacar? Dan selalu aku menjawabnya dengan tertawa, karena aku tidak pernah
tahu harus menjawab apa? Dan kemudian aku bertemu denganmu, sesuatu yang sangat
baru, yang sangat berbeda, dan yang kemudian mengubah kompas perjalananku,
berputar-putar entah ke arah mana. Dan aku bingung, kemudian tersesat. Apakah
itu salah?
Awalnya dari sebuah buku.
Kemudian mundur dan memanjang menjadi rel kereta api. Menabrak toko-toko,
tenggelam dalam riuhnya rumah, jalan, dan isi perkotaan. Lalu gerimis datang
dan kita berteduh sejenak, terdiam, meresapi butiran butiran air hujan yang
kita isi doa-doa harapan, berakhir di warung soto lama di pojok kota. Dan di suatu saat
yang lain, menjelma menjadi sebuah
perjalanan, bercerita tentang rumah, tentang orang tua. Dan kau bercerita
sambil menahan sakit karena tangan perempuan tua yang memijat tubuhmu. Di waktu
yang lain, suara ombak begitu keras terdengar memanjang dan berdebur-debur
sepanjang pantai selatan. Kau memandangnya begitu syahdu, entah berpikir apa.
Sementara itu aku terdiam memikirkan kebingunganku, memikirkan banyak hal baru
yang harus aku resapi dengan cepat. Lalu kita pulang. Dan banyak hal lain yang
saling silang sengkarut membentuk pemahaman kecil tentang aku, tentang kamu,
tentang kita. Sampai suatu saat, aku
menghadiahkanmu sebuah buku. Buku lama bersampul merah darah, di hari ulang
tahunmu yang terlambat. Dengan ajakan untuk berziarah bersama, menziarahi hidup
kita dengan perjalanan selamanya. Sampai kita mengenal diri, dan kemudian
saling berbagi cerita. Dan kau membalasnya dengan sms yang masuk ke hp jadulku
yang masih tetap aku simpan sampai sekarang walaupun sudah rusak. Tepat di
malam dua puluh lima,
dua tahun yang lalu.
Dan di dua tahun perjalanan
kita. Aku kembali ingin menghadiahkanmu sebuah buku, yang tentu saja karangan
penulis kesukaanmu. Sebuah tanda hati yang tidak bisa aku katakan untuk apa,
karena apa, atau tanda apa. Ucapan terima kasih mungkin, walaupun keseluruhan
kehadiranmu jelas tidak bisa ditimbal balik dengan apapun. Tapi bagiku, aku
ingin melekatkan ingatan, rasa, dan pengalamanku dalam keseluruhan hadirku tentangmu
pada buku itu. Sebuah simbol sederhana yang tidak bisa mengungkapkan
keseluruhan, bahwa AKU MENCINTAIMU dengan keseluruhan kehadiranku
25 Maret 2013
Yang mencintaimu,
Dini Rahmat Aziz
.