Halaman

    Social Items

Kerumunan orang itu masih berdiri didepan sebuah sekolah terkenal. Beberapa ada yang duduk, beberapa ada yang bolak-balik melihat papan pengumuman sambil gelisah. Sementara itu matahari semakin tinggi, udara mulai menghangat. Lalu lintas di depan sekolah itu juga mulai ramai.

Jumat, jam 10 kurang beberapa menit. Bocah bercelana panjang hitam berjaket warna biru itu menerobos kerumunan, langsung masuk ke sebuah lorong yang tidak terlalu lebar. Raut mukanya tidak menunjukkan ketegangan, apalagi kekahawatiran. Entah dia tahu atau tidak apa yang ditujunya.


"Dari dalam kota atau luar kota dek??".
"Dalam kota bu".

Beberapa lembar kertas disodorkan, disuruh diisi. Setelah rampung menulis, bocah itu ngeloyor pergi, ringan, tanpa kekhawatiran. Sementara itu, kerumunan didepan sekolah mulai mencair, beberapa ada yang pulang. Sambil keluar, dia melongok papan pengumuman yang dari tadi menjadi sasaran puluhan mata kerumunan itu. 42,15 belum berubah.

Sambil berjalan pulang bocah itu berpikir keras. Hatinya gelisah melihat kerumunan orang itu. Apalagi melihat angka yang tertera di papan pengumuman. 42,15 belum berubah. Dalam benaknya berputar sebuah pertanyaan sederhana, pantas saja disebut sekolahan favorit, wong mau masuk saja angkanya harus bagus. Jelas gak semua orang punya akses, lagi-lagi harus yang bermodal?

Hari itu puluhan orang menggantungkan hidup anaknya di papan pengumuman itu. Diterima didalamnya adalah sebuah kebanggan sekaligus sebuah jaminan masa depan. Maka kebiasaan berkerumun di depan sekolah itu adalah tradisi panjang. Dimana nasib anaknya tiga tahun kedepan ditentukan lewat angka kecil yang ditempel di papan itu.

Tapi tidak bagi bocah itu. Pikirannya sangat sederhana, dia hanya ingin belajar, menambah ilmu pengetahuan. Baginya belajar dimana saja adalah sama. Yang penting bisa belajar, belajar untuk berilmu, belajar untuk menjadi manusia. Maka pilihan ke sekolah itu menjadi hal yang biasa, malah sangat biasa. Pun jika tidak diterima, tidaklah menjadi masalah tersendiri. Paling banter bocah itu akan ngomong, "kalau gak diterima disitu ya masuk aja ke sekolah lain, kan masih banyak".

Setelah matahari hampir tegak, kerumunan didepan sekolah terkenal itu mulai bubar. Sambil keluar membawa map yang masih baru, lontaran-lontaran kekecewaan mengalir deras. Seorang bapak terlihat berjalan sambil terdiam, mungkin memikirkan kegagalan cita-citanya menyekolahkan anaknya disitu. Sambil berjalan, bapak itu teringat puluhan tahun yang lalu. Saat dia harus pulang dengan map ditangan, karena tidak diterima di sekolah itu. Dulu, sekolahan terkenal itu tidak disitu.

42,15 belum berubah.

suatu pagi di depan sekolah

BackDoorKerumunan orang itu masih berdiri didepan sebuah sekolah terkenal. Beberapa ada yang duduk, beberapa ada yang bolak-balik melihat papan pengumuman sambil gelisah. Sementara itu matahari semakin tinggi, udara mulai menghangat. Lalu lintas di depan sekolah itu juga mulai ramai.

Jumat, jam 10 kurang beberapa menit. Bocah bercelana panjang hitam berjaket warna biru itu menerobos kerumunan, langsung masuk ke sebuah lorong yang tidak terlalu lebar. Raut mukanya tidak menunjukkan ketegangan, apalagi kekahawatiran. Entah dia tahu atau tidak apa yang ditujunya.


"Dari dalam kota atau luar kota dek??".
"Dalam kota bu".

Beberapa lembar kertas disodorkan, disuruh diisi. Setelah rampung menulis, bocah itu ngeloyor pergi, ringan, tanpa kekhawatiran. Sementara itu, kerumunan didepan sekolah mulai mencair, beberapa ada yang pulang. Sambil keluar, dia melongok papan pengumuman yang dari tadi menjadi sasaran puluhan mata kerumunan itu. 42,15 belum berubah.

Sambil berjalan pulang bocah itu berpikir keras. Hatinya gelisah melihat kerumunan orang itu. Apalagi melihat angka yang tertera di papan pengumuman. 42,15 belum berubah. Dalam benaknya berputar sebuah pertanyaan sederhana, pantas saja disebut sekolahan favorit, wong mau masuk saja angkanya harus bagus. Jelas gak semua orang punya akses, lagi-lagi harus yang bermodal?

Hari itu puluhan orang menggantungkan hidup anaknya di papan pengumuman itu. Diterima didalamnya adalah sebuah kebanggan sekaligus sebuah jaminan masa depan. Maka kebiasaan berkerumun di depan sekolah itu adalah tradisi panjang. Dimana nasib anaknya tiga tahun kedepan ditentukan lewat angka kecil yang ditempel di papan itu.

Tapi tidak bagi bocah itu. Pikirannya sangat sederhana, dia hanya ingin belajar, menambah ilmu pengetahuan. Baginya belajar dimana saja adalah sama. Yang penting bisa belajar, belajar untuk berilmu, belajar untuk menjadi manusia. Maka pilihan ke sekolah itu menjadi hal yang biasa, malah sangat biasa. Pun jika tidak diterima, tidaklah menjadi masalah tersendiri. Paling banter bocah itu akan ngomong, "kalau gak diterima disitu ya masuk aja ke sekolah lain, kan masih banyak".

Setelah matahari hampir tegak, kerumunan didepan sekolah terkenal itu mulai bubar. Sambil keluar membawa map yang masih baru, lontaran-lontaran kekecewaan mengalir deras. Seorang bapak terlihat berjalan sambil terdiam, mungkin memikirkan kegagalan cita-citanya menyekolahkan anaknya disitu. Sambil berjalan, bapak itu teringat puluhan tahun yang lalu. Saat dia harus pulang dengan map ditangan, karena tidak diterima di sekolah itu. Dulu, sekolahan terkenal itu tidak disitu.

42,15 belum berubah.

No comments