Halaman

    Social Items

Maaf, Saya Harus ke Bali

BackDoor
Seutas tali rafia sepanjang 10 meter direntangkan di bibir pantai Kuta. Seseorang yang memegang megaphone memberi komando dari depan. Dibelakang tali itu beberapa wisatawan yang kebanyakan dari luar negeri, berdiri memegang erat tukik (anak penyu) ditangannya. Setelah diberi aba-aba, puluhan tukik mulai dilepaskan. Gelombang pantai yang besar membawa satu persatu tukik itu ke lautan.

Aku kesusahan mencari celah diantara kerumunan orang-orang itu. Gila, mereka yang terlalu tinggi badannya atau aku yang terlalu pendek? Teman disampingku hanya tertawa ngakak. Setelah puas melihat prosesi 'pelestarian fauna' itu, aku berjalan lagi. Berdua dengan temanku, melihat-lihat pantai, orang berenang, atau ombak yang merangkak ke daratan. Yang lebih asyik sebenarnya, melihat bermacam ras manusia berjalan-jalan menikmati matahari pantai. Berjemur sambil mengawasi anak-anaknya berenang di laut. Gilaa, putih hitam tumplek blek jadi satu. Menarik juga melihat sajian yang tidak biasa itu hehe....


Jarang-jarang punya kesempatan bersentuhan dengan bermacam jenis orang. Berbeda budaya pula. Tentu saja dengan bermacam karakteristik masing-masing. Entah orang Jepang atau Korea yang putih sekali kulitnya dengan bahasa yang susah dihapal, apalagi dimengerti. Masih mending yang pake bahasa Inggris, satu dua bisa lahh. Menyenangkan sekali, KKL (Kuliah Kerja Lapangan) ke Bali.

Aku nggak habis pikir, bagaimana kawanku yang satu itu tidak mau ikut KKL. ketika ditanya ada saja alasannya, inilah- itulah. Akhirnya aku sengaja ke rumahnya, membawa misi agung, merayunya supaya ikut. Harus Bisa, masa satu angkatan tidak kompak?? Setelah muter-muter nyasar kesana-kemari aku tiba dirumahnya, berdua dengan temanku. Rumahnya biasa saja, sangat biasa malah. Bertegel hitam, ruang tamunya tidak terlalu besar. Kamarnya hanya ada tiga, untuk lima orang penghuni. Dia, ibunya, dan dua orang adiknya. Bapaknya sudah lama meninggal.

Setelah beberapa kali didesak, keluarlah segala unek-uneknya. Klasik sekali, masalah biaya! Dengan muka yang lesu, dia mulai bercerita. Banyak sekali pengeluaran yang harus dikeluarkan pertengahan tahun ini. Sayang sekali kalo hanya dikeluarkan untuk pergi ke Bali.

"Maaf jack, aku nggak bisa ikut", dia menutup omongannya dengan kata itu.
"Gampanglah kalau masalah biaya, nanti temen-temen bisa bantu," kataku kemudian.
"Emangnya pergi ke Bali tu sama dengan pergi ke rumah nenekmu apa? gak perlu bawa duit pulangnya bawa oleh-oleh banyak? belum lagi untuk yang lain. mikir dong," gerutunya sengit.
Akhirnya semua terdiam.

Aku sejenak merenung, dia memang bukan satu-satunya mahasiswa yang menolak ke Bali. Ada tiga orang lagi, dan alasannya memang bervariasi. Ada masalah ekonomi, ada masalah idealisme atau mungkin yang lain. Aku termasuk yang sangat setuju KKL ke Bali, dalam sebuah forum pleno kuutarakan alasan kesetujuanku untuk membantah alasan mereka berempat. Dengan bermacam alasan yang sangat intelektual kubantah alasan mereka. Bermacam Teori Kontemporer kuutarakan, dari mulai multikulturalisme sampai teori pendidikan mutakhir. Bukan mahasiswa dong, kalau tidak bisa membuat pembenaran bagi dirinya sendiri. Teori-teori hanyalah seperangkat alat baca. Mau milih yang mana, dan digunakan untuk apa ya terserah kita. Yang jelas, kalau menolak maka dia termasuk orang yang belum diberi 'pencerahan', masih dalam era kegelapan. Belum modern lah.

Masa hanya karena beberapa orang menolak, KKL ke Bali harus berhenti. Tidak dong, gila apa mereka-mereka itu. Biar saja mereka nggak ikut, bukankah mayoritas yang harus menang?? minoritas kita beri hormat saja, keputusan tetap milik mayoritas. Itulah yang dinamakan Demokrasi. Kalau gak mau ya sudah, jangan mengganggu. Begitu saja kok repot?

Pokoknya semua harus ikut. Kalau perlu, bikin wacana tentang perlunya KKL ke Bali. Sebar tulisan disetiap sudut kampus, bikin buletin atau apalah. Salah siapa nggak bisa ikut karena nggak punya duit?? Toh aku punya ini, duitku banyak kiriman orang tua, dan hasil kerja sendiri (jualan proposal). Aku gak perlu bingung ke Bali, uang saku jelas lebih. Yang pasti sekarang semua harus ikut, kalau perlu kita bantu dana deh. Masa kamu nggak menghormati kebersamaan?

"Kebersamaan yang menindas?" katanya.

Aku sudah menyerah menghadapinya. Terserahlah, kalau dia tetap pada pendiriannya aku nggak bisa apa-apa. Yang pasti aku sudah berbaik hati berkunjung ke tempatnya. Dan KKL ke Bali tidak akan berubah hanya karena empat orang yang menolak. Terlalu sayang, kalau harus mengakomodir suara kecil. Tidak ada tempat untuk perbedaan, tidak ada tempat untuk yang kecil. Kalau kau gak ikut sekarang, maka kau harus mengulang, itulah resikonya.

Kemudian perbincangan dirumahnya berakhir dengan datangnya adiknya.
"Mas, besok aku harus daftar ulang. Kalau nggak daftar ulang aku gak bisa masuk STM."
"Berapa?"
"Dua juta rupiah"
"Ya nanti malam mas pinjem ke rumah pak RT, "
"Duit BLT kan ada mas?"
"Duit BLTnya sudah dipakai adikmu buat bikin seragam, kasihan kan-masa masuk SD pertama kali gak pake seragam"
"Tapi harus dapat ya mas?"
"Iya, mas usahakan"


Matahari Bali sudah terbenam, besok ada kunjungan ke Pasar Seni Sukawati. Saatnya belanja, cari oleh-oleh buat temen-temen. Katanya banyak kaos-kaos yang murah. Walaupun kemarin sudah belanja ke Joger, masa nggak ada oleh-oleh dari Sukawati. Nggak lengkap dong, ke Bali nggak belanja. Biar saja dia nggak ikut ke Bali, toh disini aku masih bisa senang-senang, masih bisa belanja.

Maaf kawan, tapi aku harus ke Bali. Demi kebersamaan, demi belajar, demi belanja.

(Tabloid Belik| Wacana Blakasuta| Edisi XVII/XVII/2008)

No comments