Halaman

    Social Items

Onhoorbaar Groeit de Padi

BackDoortak terdengar tumbuhlah padi
----------------------------

Bulan ini adalah musim tanam padi pertama tahun ini. Walaupun musim hujan telah berlalu, tidak membuat ritual di sawah itu berhenti. Kehidupan petani dan sawahnya tetap berlanjut. Beberapa petak sawah ada yang sudah ditanami. Tingginya baru beberapa centi. Sawah yang lain baru mulai digarap. Istilahnya labuhan, atau proses menanam padi. Sebutan masyarakat Banyumas jika musim tanam sudah tiba.


Seperti pagi ini, beberapa orang terlihat membawa cangkul ke tengah sawah. Yang lain sedang bersiap-siap di pinggir sawah sambil menghabiskan rokok buatannya sendiri. Traktor besar berwarna merah terlihat mulai dinyalakan oleh yang punya. Wajahnya terlihat kusut, kelihatannya traktornya enggan menyala, ogah-ogahan diajak bekerja. Kalau sudah begitu tinggal yang punya yang memaki-maki tidak jelas.

Ditengah sawah itu hanya ada orang-orang tua, tidak ada anak muda disitu. Entah kenapa anak-anak sekarang tidak suka bertani, menggarap sawah, atau paling tidak bercita-cita mempunyai rumah di pinggir sawah. Anak-anak sekarang mempunyai kriteria sendiri tentang apa itu sukses, apa itu bekerja, apa itu kaya. Dan kriteria itu sudah jauh berubah dibandingkan jaman bapaknya dulu. Kalau dulu, orang yang disebut orang kaya adalah orang yang punya sawah banyak. Atau bekerja bertani masihlah menjadi pekerjaan yang memadai. Sekarang tidak lagi. Sekarang, sukses adalah mempunyai mobil mewah, mempunyai rumah bagus atau bekerja di Bank terkenal.

Entah aku menyebutnya keniscayaan perubahan. Atau itu adalah sebuah keterasingan, alienasi, sebuah keterasingan anak-anak sekarang terhadap basis masyarakatnya, terhadap lingkungannya. Yang itu kadangkala dipaksakan oleh "dunia luar" terhadap kesadaran mereka. Menjadi miris, ketika sarjana pertanian pun tidak pernah memegang cangkul. Tidak pernah mencium hawa sawah yang sulit dicari literaturnya dalam buku manapun. Tak heran jagad pertanian kita ketinggalan jauh dari Jepang, dari Thailand yang dulu berguru kepada kita. Atau jangan-jangan pertanian pun merupakan pemaksaan "dunia luar" terhadap kita. Bukankah wilayah kita sebagian besar laut, tapi kenapa justru pertanian yang menjadi andalan. Dan laut tidak pernah disentuh barang sedikitpun?

Mungkin lebih baik pertanyaan itu kita simpan dulu untuk PR. Kembali ke tengah sawah, bapak yang punya traktor mulai bersemangat kembali. Bunyi mesin traktor membuyarkan belalang-belalang yang sedang menempel di balik daun singkong. Traktor itu telah menyala, kesempatan untuk mendapatkan upah hari ini kembali terbuka. Begitu juga petani-petani itu. ups maaf, mungkin lebih tepatnya penggarap. Sawah yang mereka garap bukanlah milik sendiri, tapi milik si tuan tanah. Mereka hanya bekerja megawe di sawah itu. Sekarang jarang sekali petani yang punya sawah sendiri.

Seorang penggarap yang diserahi untuk leb-leb, kembali dengan air yang mengalir lewat kali kecil. Sembari menunggu air memenuhi sawah, penggarap yang lain memopok pematang itu dengan cangkul kemudian menguatkannya dengan diinjak-injak. Bagi yang tidak terbiasa, pekerjaan itu tidaklah segampang kelihatannya. Walaupun teorinya sudah bergunung-gunung, untuk praktek jangan harap sekali coba langsung bisa. Makanya tidak ada yang dibanggakan oleh seorang petani kecuali ketrampilannya mencangkul di sawah.

Setelah pemopokan selesai, kerja berikutnya adalah meluku. Giliran tukang traktor yang beraksi. Traktor berputar-putar di sawah sambil membawa wluku. Tujuannya untuk memudahkan tanah dicangkul. Setelah diwluku maka tanah yang dulu keras, menjadi terangkat dan gampang dicangkuli. Sebelum ada traktor, meluku dilaksanakan dengan kerbau. Untuk alasan efisiensi, kerbau mulai ditinggalkan. Dan traktor mulai menjadi harga mati. Padahal, banyak kelebihan-kelebihan ketika meluku dilaksanakan dengan kerbau. Tanah yang diwluku lebih halus, dan kotoran kerbau justru menjadikan tanah lebih subur. Dan yang pasti lebih ramah lingkungan, karena tidak ada bahan bakar yang tercecer di sawah. Sebuah kearifan masyarakat petani jaman dulu.

Supaya tanah mudah ditanami, kerja penggarap berikutnya adalah meratakan tanah yang sudah diwluku. Namanya diler, prosesnya hampir sama, hanya saja alat yang digunakan berbeda. Wluku berbentuk menyerupai rumah keong yang terbuka. Sedangkan diler menggunakan Garu, yang persis seperti sisir raksasa. Setelah diratakan, tanah akan lebih mudah ditanami, dan pengairan berikutnya akan lebih merata. Itulah alasan mengapa meluku dan menggaru ini menjadi sangat penting.

Dulu ketika kecil, megawe atau membajak sawah sangat dinanti-nanti. Saat itu adalah saat dimana anak-anak kecil dapat ikut gupak atau bermain di lumpur, sambil menaiki kerbau yang sedang berjalan. Ditambah anak-anak itu saling lempar-lemparan lumpur. Asyik sekali. Apalagi kalau hujan mulai turun, permainan itu menjadi lebih mengasyikan. Teriakan tukang megawe yang mengendalikan kerbaunya merupakan nyanyian yang tidak terlupakan. Sayang, sekarang kerbau sudah berganti traktor yang tidak bisa dinaiki.

Setelah sawah menjadi rata, giliran wanita bersarung yang ambil bagian. Sambil berjalan mundur, wanita itu menancapkan beberapa batang padi muda untuk ditanam. Sambil ngobrol tentang dapur yang semakin susah ngebul, wanita itu mengisi petak-petak sawah dengan padi muda sampai penuh. Biasanya pagi-pagi buta beberapa orang sudah siap ditengah sawah. Dengan ikat kepala yang menahan kepala dari panas. Wanita itu mulai bergerak mundur berurutan, menanam benih hidup supaya tumbuh.

Sawah itu sekarang sudah memiliki roh. Padi-padi muda tanpa suara mencoba tumbuh. Semilir angin mengoyang-goyangkan padi itu. Air di sawah itu sudah bening, terlihat disana bibis-bibis kecil berenang-renang berputar-putar. Punggungya berkilat-kilat terkena cahaya matahari. Beberapa lubang seukuran jempol, tempat belut sawah tinggal mulai bermunculan. Matahari musim kemarau itu bersinar terik. Walaupun begitu padi-padi itu harus tetap bertahan, harus tetap tumbuh, untuk menjadi beras. Untuk menjadi kehidupan bagi orang-orang disekitarnya. dengarkanlah, Walaupun diam, diam tak terdengar padi itu tetap tumbuh.

1 comment: