Halaman

    Social Items

Di sebuah Gubuk

BackDoor
Bocah itu duduk disebuah gubuk dipinggir sawah. Gubuk kecil dengan atap jerami dan kerangka terbuat dari bambu. Dibawahnya mengepul asap putih dari bakaran kayu yang hampir padam. Didalam bakaran itu tergeletak potongan ketela yang mulai matang. Sambil menunggu bakaran ketela matang, bocah itu menatap tajam hamparan sawah didepannya. Yang terlihat hanya sawah, bertingkat-tingkat. Sesekali diselingi pohon pisang atau pohon kelapa di pematang.

Mata bocah itu sulit ditebak sedang melihat apa. Pandangan matanya menyiratkan sesuatu, tapi sulit dipahami. Gerimis mulai berjatuhan, bersama-sama membentuk garis patah-patah yang indah. Mengganggu burung-burung pencari sisa-sisa padi ditengah sawah. Burung itu beterbangan ke pohon terdekat, masuk kesarangnya atau sekedar berteduh, mencari kehangatan. Tapi tetap saja mata bocah itu tidak berpindah. Matanya masih setia memandang pagelaran alam itu, bertumpang tindih, bercengkrama dengan sepi, dengan sandiwara alam dimana Tuhan sebagai sutradaranya.


Mata bocah itu sedang membaca, sedang mengingat-ingat, sedang membayangkan drama Tuhan yang lain. Sebuah peristiwa tergelar di depan matanya. Mata yang sedang membaca waktu, atau sekedar mengingat-ingat ayat-ayat Tuhan di gubuk itu. Bukan hari ini, bukan saat ini tapi di waktu yang berbeda. Sementara itu, ditengah sawah gerimis belum selesai menunaikan tugasnya, memberi kesejukan.
***

Waktu itu Awal bulan puasa, sawah-sawah baru saja ditanami. Tapi sayang, air saat itu sangat sulit. Aliran air setiap malam harus selalu dijaga, sampai di pusatnya. Sawah itu bukan milikku, tapi milik mas Ali, seorang ustad TPA di desa kami. Ustadz muda, sederhana dan kurus badannya.

Hormat terhadap guru membuat kami tergerak untuk ikut begadang setiap malam. Hampir setiap habis Tarawih, kami begadang sampai sahur, di sawah itu, di gubug itu. Keheningan malam sejenak menyembunyikan dirinya jika kami datang. Makhluk malam ikut bergembira jika kami datang. Katak-katak kecil mulai bernyanyi bersama-sama, dengan nada yang berbeda tentu. Digubug itu, ditengah sawah itu kami bergembira.

Saat dingin, tubuh biasanya membutuhkan makanan yang lebih. Kebutuhan menghangatkan diri membuat simpanan makanan dalam tubuh cepat habis. Budin dan muntul menjadi alternatif makanan yang menyenangkan. Bakar-bakaran segera disiapkan, team pencari makanan sudah mulai bergerak. digubug itu kami bersama-sama menikmati rezeki dari Tuhan. Bakaran budin yang nikmat. Ditemani cerita seru mas Ali, cerita yang sangat membekas. Tentang banyak hal, penuh dengan petuah hidup. Ringan tapi bermanfaat.

Bermacam celoteh keluar di gubug itu, cerita-cerita tentang hidup saling bersilangan. Biasanya cerita mas Ali tentang hidup sehari-hari, dengan gaya yang menarik, membuat kami betah mendengar ceritanya. Juga banyak hal yang kami tumpahkan, yang kami keluarkan. Hanya sekedar cerita pagi harinya. Tentang sekolah atau menu buka puasa yang tidak sesuai harapan. Tapi mas Ali tetap mendengarkan, sesekali mengeluarkan lelucon yang membuat kami terpingkal-pingkal. Membuat malam itu menjadi berkesan, dengan mas Ali, dengan bakaran budinnya.

Seorang ustad adalah panutan murid-muridnya dalam bidang agama. Hanya saja kadang-kadang seseorang yang didudukan dalam posisi ustad menjadi sangat elitis. Pergaulan dibatasi, hanya bergaul dengan orang-orang tertentu yang sama-sama levelnya. Sederhananya ustad temennya ustad. Tapi mas Ali berbeda, pergaulannya sangat luas. Sore mengajar TPA, malam ngumpul dengan anak-anak di prapatan. Masih dengan bersarung dan berpeci, kadang-kadang mas ali terlihat asyik ngobrol dengan anak-anak di prapatan. Dia memang hidup di banyak dunia, tetapi ada satu yang tetap. Bahwa mas Ali adalah guru TPA, bahwa dia adalah orang NU. Seperti malam itu, semua bergembira, semua tertawa walalupun matanya sudah setengah terbuka.

Suara corong masjid membangunkan orang sahur, mengakhiri rutinitas malam itu. Semua pulang ke rumah masing-masing. Tapi malam-malam ramadhan itu akan menjadi kenangan yang selalu membekas, tersimpan diruangan khusus dalam hati. Dan akan selalu dirindukan. Malam Ramadahan ditengah sawah didalam gubug kecil, yang sampai sekarang masih tetap di tengah sawah.

Butiran gerimis masih saja menghujam ke bumi. Tapi mata bocah itu masih tetap memandang ke depan, ke sawah, ke butiran gerimis. Api di bakaran sudah padam, tinggal bara dan bakaran budin matang yang tersisa. Tiba-tiba mata bocah itu berkaca-kaca, butiran air mata mulai menetes. Satu-satu, seirama dengan gerimis yang belum mau berhenti. Ruangan didalam hatinya telah membuka. Dia teringat beberapa tahun yang lalu, saat Ramadhan, tepatnya malam Ramadahan. Ketika dia dengan temannya selalu menemani mas Ali, guru sekaligus sahabatnya yang sekarang telah menghadap Tuhan. Di tengah bola matanya yang hitam, tampak sosok muda kurus dan berpeci, tersenyum ramah. Senyumnya seolah berkata, Segala sesuatu adalah milik Alloh dan akan kembali kepada Nya.

(Mengenang Ali Sodikin)

1 comment:

  1. Artikel anda:

    http://gaya-hidup.infogue.com/
    http://gaya-hidup.infogue.com/di_sebuah_gubuk

    promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

    ReplyDelete