Halaman

    Social Items

yang terlupakan saat lebaran

BackDoor
Duduk disitu rasanya lama sekali. sambil melihat goresan kayu di tengah nisan bapakku, aku melanjutkan bacaan tahlilku. Setiap emosi yang akan keluar aku tahan sekuat-kuatnya. jangan sampai aku menangis, aku harus kuat. Sekarang aku adalah satu-satunya laki-laki di keluarga ini. Sabda masyarakat berkata bahwa anak laki-laki adalah penerus estafet kepemimpinan keluarga, maka harus kuat, tidak boleh menangis. Walaupun diam-diam aku mengutuk ketentuan itu.

Hari itu agak mendung, ingin rasanya diam di rumah, nonton TV sambil makan cemilan kemudian tidur sampai sore. Tapi hari ini hari pertama lebaran, hari dimana seluruh keluarga berkumpul, sungkeman, lalu berkeliling kampung saling maaf-maafan. Tiga orang, ya hanya tiga orang, aku - ibuku - dan kakaku. Pagi itu adalah pagi paling sepi dalam sejarah idul fitri hidupku. Tanpa bapak, hanya isak tangis ibuku tak henti-henti.

Tetapi tradisi tetaplah tradisi, hari itu setelah sungkeman kami mulai berkeliling. Kata pak kyai, 1 Syawal adalah waktu yang paling afdol untuk silaturahmi. Bapak selama ini juga terkenal suka menyambung silaturahmi, dari tetangga sampai keluarga jauh semua sering didatangi bapak. Jadi tidak ada ruginya kebiasaannya diteruskan. Hanya saja rutenya sedikit diubah, sekarang dimulai dari rumah nenek. Kami mulai dari sana.

Beberapa wajah asing bergantian menutupi pandanganku, tersenyum sebentar lalu menyodorkan tangannya. Sambil bersalaman kata-kata permohonan maaf dilontarkan. Aku hanya tersenyum sambil menjawab 'sama-sama'.

Agak siang kami singgah disebuah rumah sederhana. Rumah kecil, dengan dinding dominan dari kayu. Didalam terlihat sepi, kontras sekali dengan hilir mudik orang-orang yang bersilaturahmi dijalan kecil samping rumah. Tanpa salam kami masuk. Didalamnya hanya ada meja dan bangku panjang, lemari kecil, dan amben kecil dengan tubuh tua sedang tidur diatasnya. Tubuh tua itu masih tidur beberapa lama sebelum menyadari kehadiran kami. Setelah bangun, dia langsung duduk. kemudian bersalaman sambil menangis.

Cerita-cerita tentang keadaannya mulai terucap dari mulutnya yang merah karena sering mengunyah sirih. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali tersenyum kecil. Orang tua ini biasa dipanggil Ni Cikong. Aku tidak tahu nama lengkapnya, dari kecil aku hanya memanggilnya ni cikong. Aku sangat senang sekali kalo disuruh emakku mengantarkan rantang kiriman ke rumah Ni Cikong. Biasanya pulangnya pasti membawa ayam untuk dipelihara, atau minimal duit untuk jajan. Dulu, ibuku memang setiap satu tahun sekali pasti menyempatkan membuat makanan untuk dikirimkan kepada tetangga dan keluarga. Biasanya beberapa hari sebelum bulan puasa. Aku paling senang kalau disuruh mengirim ke pakde, paklik atau eyang-eyang. Ni Cikong termasuk tujuan favorit karena pulangnya pasti membawa sesuatu, walaupun jelas tidak setiap tahun.

Aku masih duduk sambil mendengarkan. Ibuku kadang-kadang menyela, bertanya atau memberikan komentar. Sambil menangis Ni Cikong bercerita bahwa dia sedang sakit, makanya hari itu hanya tidur. Padahal orang-orang ramai bersilaturahmi. Aku menengok sebentar ke atas meja. Tidak ada apa-apa. Di dalam kamar juga tidak terlihat orang satupun. kemana anak-anaknya? Bukankah ibunya sedang sakit, kenapa tidak ada orang satupun, kalau terjadi apa-apa? Uff... aku tidak mau berpikir lebih jauh.

Hari itu orang-orang sedang ramai bergembira. Menyambut kemenangan setelah sebulan lamanya menahan hawa nafsu. Hari itu orang-orang bersuka ria. Seluruh makanan dikeluarkan. Dari mulai makanan berat, sampai makanan ringan di dalam toples. Baju-baju baru dikenakan. Orang tua yang punya anak merantau sedang bergembira, karena anak-anaknya ada dirumah. Anak-anak itu membawa banyak oleh-oleh untuk bapak ibunya. Dari pakaian baru, sampai calon menantu. Setiap rumah kelihatan penuh dengan tawa dan kebahagiaan.

Tapi beda sekali dengan Ni Cikong. Rumahnya sepi sekali, anak-anaknya tidak ada yang kelihatan. Di atas meja tidak terlihat toples satupun. Pakaiannya pun hanya jarit lusuh dengan kebaya warna hijau kehitam-hitaman, saking jarangnya dicuci. Aku sering mendengar, di bulan puasa setan-setan diikat kencang, bahkan tidak boleh berjalan-jalan. Mungkin ketika Idul Fitri, ikatan itu dilepaskan atau terlepas. Sehingga ada seorang tua yang sedang sakit, sendirian tidak ada yang memperhatikan. Bahkan sebungkus roti pun tidak ada. Sementara itu disekelilingnya orang-orang sedang ramai bergembira, dengan kepenuhan makanan dan materi lainnya. Untuk kesekian kalinya aku menangis.

No comments