Halaman

    Social Items

Cemara di depan rumah

BackDoorMatahari pertama hari itu menonjok pucuk cemara di depan rumah mamat.
Bulan di langit barat belum mau menidurkan matanya yang besar.
Angin pun masih berlari-lari kecil, menabrak daun-daun pohon rambutan tua yang berjatuhan berputar-putar.
Kelelawar-kelelawar kecil berebutan masuk ke liangnya di atap rumah

Mamat mencium tangan ibunya yang sedari tadi merapikan seragam putih merahnya.
Dibawah cemara mamat mendongak ke atas.
Sebutir embun sisa tadi malam membentur keningnya, menambah berkilat-kilat kening yang penuh minyak orang-aring.

Dibalik daun cemara yang kecil-kecil, ulat-ulat bulu menggeliat menghindari sinar matahari pagi.
Keluarga burung prit meregangkan sayapnya yang semalaman digunakan menutupi anak-anaknya yang masih kecil.
Cemara itu tidak tinggi, tidak lebih tinggi dari rumah mamat.
Pun tidak lebih tinggi dari pohon jambu bangkok di sampingnya, tapi kadang-kadang banyak rombongan burung nomaden singgah untuk sekedar bermalam.
Ulat-ulat bulu juga sudah bolak-balik menjelajahi batangnya yang tidak rata.

Mamat menyeka keningnya dengan telapak tangan sambil merapikan rambutnya yang sudah rapi, sebentar kemudian merapikan kaos kakinya yang tinggi sebelah.

Embun-embun sisa tadi malam mulai memuai, diuraikan oleh panas matahari menjadi uap yang akan menjadi hujan.
Beberapa ada yang sempat lolos, bergulir lewat daun cemara kemudian jatuh ke bumi kalau tidak menabrak punggung burung.

Selarik cahaya matahari menerobos benteng daun cemara yang rapat, membangunkan anak burung di sarangnya yang bundar.
Anak-anak burung mencicit-cicit meminta jatahnya pagi itu.
Induknya terbang bergantian, ke pohon jambu, ke tengah sawah, kemudian kembali ke sarangnya.

Cemara itu tegak berdiri di depan rumah Mamat.
Batangnya memang tidak rata, bergaris-garis membentuk pola yang memanjang dari bawah ke atas.

Embun pagi itu mulai menghilang, digantikan oleh panas matahari menerobos sela-sela daun cemara yang kecil-kecil. Seekor capung terbang berhati-hati melewati daun cemara yang kecil, hinggap sebentar dan pergi lagi.

Mamat menggenggam uang receh seratus rupiah dari ibunya.
"Aku akan menabungnya", batin Mamat.
Angannya menembus cemara didepan rumahnya, menyelinap di sela daun-daunnya, berhenti di pinggir jalan, lalu membonceng koperades ke pusat kota Kecamatan menuju toko buku kecil disitu.
Sebuah majalah anak-anak terbayang jelas, menanti sentuhan mata Mamat mengurutkan kata-katanya satu persatu.
Mamat tersenyum, lalu berangkat sekolah dengan wajah secerah matahari pagi ini.

untuk seluruh penggemar Majalah Bobo.
Purbalingga, 18/02/2009

No comments