Halaman

    Social Items

Senyum Perempuan Tua

BackDoor
dan sekarang, sapa menyapa dan senyum-pun menjadi barang yang mahal. tidak semua orang dan tidak semua tempat tersedia hal-hal tersebut. apalagi di kota, bisa dipastikan sapa-menyapa menjadi barang yang mewah.
********

Siang itu matahari terasa satu jengkal dia atas ubun-ubun. Jalanan beraspal seakan bergoyang-goyang saking panasnya. Berjalan kaki dalam suasana seperti itu sama saja menyeburkan diri dalam lautan keringat. Tanpa dikomando, buliran keringat satu persatu berjatuhan. Basah semuanya.

Hari itu ada pameran buku di GOR SATRIA Purwokerto. Dari kampus lokasinya cukup jauh, sekitar 2 km. Cukup jauh kalau ditempuh berjalan kaki. Tiba di depan Fakultas MIPA, jadi inget sama temen-temen SMA. Banyak yang masuk ke situ, sisanya masuk ke fakultas sejenis tapi beda Universitas. Siswa SMA ku dulu memang dikonstruk untuk menjadi IPA. Entah kenapa, mungkin karena embel-embel unggulan yag melekat padanya mengharuskan semua siswa masuk IPA. Dan berlanjut dengan pembentukan opini publik bahwa IPA anak yang masuk IPA lebih pintar. Enak saja, memangnya anak-anak IPS bodoh-bodoh? Apa juga ukuran pintar? Siapa yang menentukan itu??... jadi pusing.

Matahari semakin bergerak ke barat. Tetapi suhu udara seolah belum mau mengalah dengan waktu. Sambil melangkah pelan, pikiran masih mengembara entah ke jaman apa. Mungkin jaman waktu masih muda, ketika energi tubuh dalam kondisi terbaiknya hehehe.... atau mikirin kuliahan yang semakin gak jelas kapan lulusnya, dan tak ketinggalan tentu mikirin budget yang dibawa buat beli buku. Harus diperhitungkan secermat mungkin.

"Wangsul mas?" tanpa disangka, suara tua dan lirih menyapa sambil tersenyum ringan."oh nggih bu", sambil celingukan bingung, gara-gara bangunan lamunan yang dari tadi dibangun buyar semuanya.

Beberapa langkah didepan, kulihat seorang nenek tua sedang berjalan membawa sepeda. masih dengan senyumnya yang ringan tapi tulus. senyum yang sudah jarang sekali ditemui.setelah berhasil menguasai diri, ingatan mulai diputar. mencoba mencari-cari arsip nenek tua yang sesuai dengan kualifikasi orang yang baru saja kutemui. setelah beberapa waktu berpikir, ternyata aku memang tidak kenal.

Wah gilaa... jaman sekarang disapa orang yang nggak kenal. di Purwokerto lagi, kalo di desa masih mungkin. walaupun didesa pun ternyata sapa menyapa mulai bergerak menjadi barang yang mahal, tapi belum separah di kota.

Entah darimana mulainya, tren komodifikasi mulai marak ditengah-tengah masyarakat. segala sesuatu yang dulu barang non komersial sekarang dikomersialkan. mulai dari air yang dulu melimpah dari sabang sampai merauke dan orang-orang bebas mengambilnya, sekarang orang harus bayar untuk sekedar meminum beberapa teguk. belum lagi air mata yang dijadikan barang jualan stasiun-stasiun TV dengan acara realiti show-nya, kayak AFI dan tayangan sejenis.

Dan sekarang, sapa menyapa dan senyum-pun menjadi barang yang mahal. tidak semua orang dan tidak semua tempat tersedia hal-hal tersebut. apalagi di kota, bisa dipastikan sapa-menyapa menjadi barang yang mewah.

Paling banter sapaan dan senyum manis diberikan kepada sesamanya ketika seseorang mau mencalonkan diri menjadi pejabat, entah Presiden, Bupati ataupun jabatan politik lainnya. selebihnya menjadi barang yang mahal. mungkin ketika semuanya sudah dijual, baru orang merindukan dan menyadari hal-hal kecil yang hilang. ketika semuanya harus didapatkan dengan uang.

Tiba-tiba saya merasa beruntung sekali, masih ada orang yang menyapa dengan senyum tulus ditengah kota yang mulai beranjak dewasa, di Purwokerto .

No comments